Kamis, 10 Februari 2011

Seni dalam Mengambil Keputusan dalam Cinta (Antara Perasaan, Logika Dan Hati Yang Bersih)

“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” Yunus : 36

Perasaan adalah hal yang paling menjebak dalam sebuah gejolak cinta. Karena dari mata ia akan turun ke hati itulah bahasa populernya. Karena mitos tentang cinta itu buta tidak mesti ada jika kita mampu mengelola perasaan kita untuk tidak terlalu membuncah sebelum saatnya. Perasaanlah yang melahirkan rindu, resah, gundah, gelisah, egoisme dan sejuta hasrat yang mematikan nurani. Terlalu banyak mempercayakan keputusan cinta kita pada perasaan hanya akan membuat kita menjadi orang yang lemah. Berapa banyak kasus patah hati, putus asa, hilang semangat hidup, dendam hingga bunuh diri disebabkan cinta yang tak kesampaian. Semua itu bisa terjadi karena eksistensi perasaan terlalu mendominasi di dalam diri kita. Inilah mengapa banyak orang mengatakan cinta itu buta, ya…benar! Cinta itu buta karena kita telah membutakan hati nurani kita dengan perasaan yang terlanjur kita penjarakan diatas hawa nafsu kita sendiri.
Logika adalah sisi lain yang menemani langkah fitrah perasaan, ibarat kita sedang naik sebuah kendaraan. Perasaan adalah gas penambah kecepatan kendaraan kita maka logika akan bekerja sebagai remnya. Dengan adanya logika kita jadi bisa berpikir panjang tentang semua efek dan kemungkinan yang baik ataupun yang buruk tentang pilihan hidup kita. Dari logika lahir pertimbangan, analisa, perencanaan hingga kehati – hatian.
Setelah perasaan dan logika maka kita perlu mesin penggerak jiwa yang lain. Dialah hati kita. Perasaan lahir karena sentuhan hati begitu juga logika yang berprasangka baik lahir karena hati yang jauh dari penyakit. Pastikanlah sebelum kita membuka perasaan kita, sebelum kita mengejewantah dalam setiap pertimbangan cinta kita, pastikan bahwa hati kita dalam posisi yang bersih dan netral. Tidak berpihak pada pengharapan untuk memiliki, tidak juga skeptis dan merasa tidak layak untuk memiliki. Perasaan dan logika ibarat dua sisi timbangan, maka hati adalah tiang penyeimbangnya. Jika ia sedikit bergeser ke kanan, maka sisi kiri akan terasa lebih berat begitu juga sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar